Minggu, 23 Agustus 2020

Aku, Dia dan Sebuah Cermin

  Sore itu, di sebuah café rooftop tempat Ria merayakan ulang tahunnya, semua berjalan dengan baik, semburat senja kemerahan di ujung langit sana menambah indah pemandangan sore itu, beberapa orang asyik berfoto ria, beberapa lagi hanyut dalam alunan musik live yang romantis, aku memilih berdiri di pinggir sambil memegang gelas minumanku, sesekali tergelak melihat tingkah konyol teman-temanku bermain tik-tok, sebelum akhirnya pandanganku mulai teralihkan dengan pemandangan di atas atap sebuah rumah di samping gedung café ini. Ada seorang perempuan yang tampak berdebat dengan seorang pria yang hanya memakai kaos singlet putih, entah mereka sedang mendebatkan apa tapi gesture mereka bisa terlihat jelas olehku, dan mendadak aku tercekat saat melihat pria itu tiba-tiba mengayunkan kayu dan menghantam kepala wanita itu dengan keras, wanita itu tersungkur dan aku kaget bukan main dengan apa yang barusan aku lihat dan reflex membalikan badanku memunggungi mereka. Aku mengatur nafasku yang tersengal karena shock, aku lihat sekeliling tampak teman-temanku tidak ada yang menyadari kejadian yang aku lihat. Dengan sedikit gemetar aku ambil cermin saku dari tas kecilku, pelan-pelan aku arahkan ke wajahku, kemudian aku geser perlahan untuk mengintip memastikan kejadian yang terjadi di atap rumah itu tadi, ya pria itu masih berdiri di sana memandang ke arahku dan menyeringai seram, dia tampak membungkuk mengambil sesuatu dari tas wanita yang dipukulnya tadi, tiba-tiba aku merasakan silau cahaya dari sebuah pantulan kaca yang diarahkan tepat ke wajahku. Seketika aku berteriak, cermin di tanganku terjatuh dan aku lemas terduduk, beberapa menghampiriku dan menanyakan apa yang terjadi, terbata-bata aku menceritakan apa yang aku lihat, teman-temanku mengecek ke arah yang aku tunjuk, tapi mereka tidak melihat apa-apa. Aku berdiri untuk memastikan, tapi benar terlihat di atas atap rumah tersebut sudah tidak ada siapa-siapa, wanita yang tersungkur tadi juga sudah tidak terlihat. Teman-temanku menenangkanku dan menganggap aku hanya berhalunisasi karena kebanyakan melamun di sore menjelang petang tersebut. Akhirnya mereka memutuskan mengantarku pulang dan menyudahi perayaan Ria.

Seminggu berlalu dari kejadian itu, dan aku masih belum bisa melupakan apa yang aku lihat saat itu. Bahkan aku tidak berani keluar kost karena ketakutanku sendiri, tapi browsing di internet juga tidak ada berita pembunuhan atau kriminal lainnya karenanya aku memutuskan untuk melupakan kejadian yang membuatku sulit tidur belakangan ini. Dan sore itu aku diajak menemani Fina ke Pasar di dekat rumah kostku, dia ingin membeli beberapa buah-buahan untuk dibuat salad. Suasana pasar masih ramai, aku agak malas berdesak-desakan karena jadi aku memilih menunggu di luar kios buah, sedangkan Fina masuk ke dalam untuk memilih buah-buahan yang dia mau. Aku bersandar pada tiang kios di pojokan sambil memainkan handphone-ku, sebelum tiba-tiba terkejut oleh silau cahaya yang mengarah ke wajahku, aku mengangkat tanganku untuk menutupi mataku, baru saja aku menurunkan tanganku lagi-lagi kilauan cahaya itu menyerang mataku, sejenak mataku kehilangan pandangan, aku geram siapa yang iseng ini?! Aku berpindah tempat dan mengedarkan pandanganku ke arah cahaya itu datang, mataku terbelalak karena melihat sosok pria bercelana pendek, berkaos singlet berdiri di seberang kios buah tempatku berdiri, tangannya memegang cermin sambil melambai ke arahku dan bibirnya tersenyum menyeringai seram. Spontan aku berlari ketakutan sekencang-kencangnya, pria tersebut tampak mengejarku, aku masuk ke gang-gang rumah-rumah warga untuk mengecohnya, tak kupedulikan sandal jepitku yang terlepas, tak peduli orang-orang yang keheranan melihatku berlari seperti orang gila, aku benar-benar tidak ingin tertangkap oleh pria itu.

Aku berlari menaiki tangga rumah kostku, aku mengintip apa pria tersebut masih mengikutiku melalui pagar pembatas teras. Sepi. Tak terlihat. Fyuhhh… Aku menarik nafas lega. Aku masuk ke kamarku dan segera menguncinya. Tak lama aku pun tertidur, aku terbangun saat sayup mendengar adzan magrib dan merasa sangat kegerahan. Aku buka pintu kamar kostku supaya ada udara masuk, aku nyalakan kipas angin, dan sambil rebahan memainkan handphone-ku menunggu keringat hilang. Depan kamarku tampak sepi karena memang belum pada pulang kerja, aku berniat mengirim pesan ke Fina karena kamarnya masih tampak gelap. Tak berapa lama, aku mendengar langkah kaki menaiki tangga, aku bersyukur akhirnya penghuni kost lainnya mulai pada pulang, atau itu Fina? Aku melirik ke arah pintu kamarku yang terbuka menanti siapa yang sudah sampai itu. Hening, tak terdengar langkah kaki lagi. 

“Fin…!” Panggilku memastikan kalau itu Fina. 

Senyap. Mataku tak berkedip melihat ke arah pintu. Aku terhenyak saat sebuah tangan yang memegang sebuah cermin muncul dari ambang pintu mengejutkanku, disusul dengan sosok berkaos singlet yang menyeringai lebar ke arahku. Cermin itu! Seketika kesadaranku pulih. Aku beranjak secepat kilat untuk menutup pintu, tapi aku kalah cepat. Tangan gempal itu mendorongku kasar, cermin di tangannya dia lempar berganti mencekik leherku, kedua tanganku menahannya, tapi kalah kuat dengan tenaganya, tangan satunya pria itu mengambil pulpen yang ada di meja dekatnya, dan mengarahkan ke leherku, aku semakin panik, kakiku menendang-nendang sekenanya, aku berteriak minta tolong tapi suaraku hilang karena leherku semakin tercekik. Aku ingin hidup! Aku ingin hidup! Hanya itu yang ada dipikiranku dan aku berusaha berteriak lebih kencang.

“Toloong” suaraku masih tetap tak terdengar, aku mengumpulkan segenap tenagaku yang mulai melemas dan berusaha berteriak lagi.

“Tolonggggggg!!!!” Akhirnya suaraku keluar dengan lantang.

“Tooll…..” Tiba-tiba mulutku seperti ada yang membungkam. Aku panik.

“Hei yang… yang! Istighfar! Istighfar! Bangun… Bangun….” Aku membuka mata, tampak suamiku membangunkanku dengan tangan yang masih menutup mulutku yang masih ingin berteriak, berusaha menenangkan dengan mengusap-usap kepalaku.

"Astaghfirullahaladzim" Ucapku hampir tak terdengar.

      “Hei… Bangun… Bangun… Kenapa? Mimpi apa?”

Nafasku masih tersengal-sengal tapi aku merasakan lega yang luar biasa karena ternyata ini hanya mimpi.


*Sekian*


NB: Ini kisah nyata malam minggu kemarin  😁 Terima kasih Pak suamiiii… Maaf sudah membuatmu jantungan di tengah tidur lelapmu ❤️


Follow IG @ceritapunyaarti

Senin, 16 Desember 2019

Sebuah Cerita Pendek tentang "PACAR ORANG"




Pagi itu, kembali sebuah suara membangunkanku, sayup terdengar tapi berulang-ulang, memanggil-manggil dan disertai ketukan berkali-kali. Aku melempar selimutku dengan kesal, bangun dan menuju pintu  dengan malas. Aku mengintip keluar dari lubang pintu, dan aku menghela nafas saat sesosok gadis terlihat sedang mengetuk-ketuk pintu unit kamar depanku.

“Hhh... Dia lagi,” Gerutuku sebal. Aku berjalan menuju kamar mandi setelah tahu suara ketukan itu bukanlah tamu untukku. Sambil menyikat gigiku terlintas dalam benakku, tidak habis pikir mengingat gadis yang tadi kulihat di depan itu, dia adalah pacar penghuni kamar depanku. Hampir setiap hari dia selalu rutin berkunjung setiap pagi ke rumah pacarnya itu hanya untuk mengantar makanan. Aku kesal bukan karena iri melihat perhatiannya mentang-mentang aku jomblo, hanya saja suara ketukan pintunya itu menggangguku. Penghuni depan kamarku itu baru pindah sekitar sebulan  lalu, dan  sekarang aku selalu terbangun karena ketukan pintu gadis itu, bahkan disaat jam alarm yang aku set pun belum berbunyi. Aku merasa rugi saja sendiri karena waktu tidurku berkurang sekian menit gara-gara menjadi bangun lebih awal.

Aku terkejut saat keluar kamar mandi ternyata ketukan pintu itu masih.

“Busyet.., Tega bener itu cowoknya kagak bangun-bangun” batinku sambil mengambil minuman dari kulkas dan kemudian menyalakan TV berniat menonton berita. Dan baru saja aku duduk di sofa tiba-tiba sekarang giliran pintu kamarku yang diketuk pelan.

“Permisi mas” Muncul wajah cantik begitu pintu aku buka.

“Maaf mengganggu nih mas, boleh nitip lagi tidak ya buat kamar depan?” Gadis itu tersenyum kepadaku, sambil mengacungkan sebuah tentengan makanan dan memasang wajah tidak enak hati. Harusnya itu menyebalkan karena ini sudah kali sekian dia meminta tolong hal yang sama, tapi rasa sebalku selalu luntur saat melihat senyumannya. Duh Ghuna... Pacar orang itu. Aku buru-buru mengalihkan pandangan.

“Ok” Jawabku singkat sambil menerima uluran plastik makanan itu dari tangannya.

“Maaf ya mas merepotkan lagi, soalnya aku sudah kesiangan mau kerja”

“Iya nanti aku sampaikan”

“Terima kasih banyak mas, terima kasih”

Dan gadis itu pun berlalu, berlari menuju lift. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, heran jaman sekarang masih ada yang bucin, istilah netizen untuk si budak cinta. Dibela-belain seperti itu hanya untuk menunjukan perhatiannya untuk pasangannya. Aku melirik ke arah pintu kamar depanku yang masih tetap tertutup rapat. “Kebo lo” Umpatku sebal.

Ada sekitar satu jam aku tinggal mandi dan bersiap-bersiap untuk berangkat ke kafe tempatku bekerja. Dan saat sedang memakai sepatu, aku baru teringat akan titipan makanan itu. Aku mengambilnya bersiap mengantarkan ke kamar depan. Aku ketuk lumayan keras dengan harapan orangnya bisa langsung terbangun, karena aku benci mengetuk pintu berulang. Dua tiga kali ketukan, pintu kamar itu tetap tidak kunjung dibuka. Aku tambah sambil memanggil-manggil tapi nihil. Akhirnya aku gantungkan di pintu kamar itu dan aku tempel memo kecil di post it “Dari pacarmu”, ya... aku lupa menanyakan nama gadis itu padahal sudah dua kali bertemu. Setelah itu aku pun pergi untuk berangkat bekerja.

***

          Hari itu, Minggu pagi jam 05:00 aku sudah bersiap mau jogging seperti biasa, aku terkejut saat membuka pintu dan tepat sekali pintu kamar depanku juga dibuka, tampak gadis penitip makanan itu keluar dengan membawa plastik sampah besar.

          “Halo mas...” Dia menyapaku ceria.

          “Loh... Sepagi ini sudah disini? Nginep atau...?” Aku tidak dapat menyembunyikan keherananku.

          “Oh.. tidak kok mas, tadi datang jam setengah 5. Sengaja bangunin Bang Ario. Nanti ada acara keluarga pagi ini, bisa telat dia kalau aku tidak kesini” Jawabnya. Oh... Ario nama si kebo itu, batinku. Kami lalu berjalan ke lift bersama, di dalam lift aku melirik tentengan yang dia bawa.

          “Plastik sampah? Sekalian beberes?” Tanyaku

          “Iya mas, iseng saja, daripada nunggu bang Ario mandi lama” Ucapnya sambil tersenyum. Damn... Entah kenapa senyum gadis itu kok bisa begitu adem dilihatnya. Tanpa sadar aku tersenyum sambil mengulurkan tanganku.

          “Namaku Ghuna, panggil saja Ghun”

          “Oh iya namaku Aida, mas. Maaf ya lupa memperkenalkan diri padahal sudah berapa kali minta tolong” Sipu-nya malu.

          “Tidak apa. Kamu asalnya bukan dari Jakarta ya?”

“Iya mas, aku besar di Jogja, baru pindah kesini belum lama”

“Oh... Pantes, luwes manggil mas-nya” kataku sambil tersenyum

“Ngomong-ngomong sudah lama pacarannya?” Aku tidak dapat menyembunyikan penasaranku.

          “Sudah mau 2 tahun mas”

          “Kapan rencana menikah? Pacaran jangan lama-lama” Ujarku

          “Hehe... Aku penginnya cepet mas, tapi bang Ario sepertinya masih nanti-nanti terus. Lagi fokus ke karirnya dulu katanya”

          “Sudah lama kenal sama Ario?” Selidikku.

          “Sebenarnya karena perjodohan, hubungan keluarga kami dekat. Dulu kami berdua teman semasa kecil tapi kemudian tinggal di kota yang berbeda. Jadi baru deket bang Ario ya sejak aku  pindah ke Jakarta 1 tahun laluan” Aku menengok ke arahnya, pantas dia tampak begitu polos.

***

Malam itu tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, aku memacu laju motorku dengan cepat karena malas berhenti untuk memakai mantel mengingat jarak apartemenku sudah dekat. Saat memasuki area parkir, alangkah terkejutnya aku melihat ada sosok gadis yang sedang berteduh di teras pos security sambil memegang kantong plastik yang sepertinya tidak asing di mataku. Selesai memarkirkan motorku, aku berlari-lari menghampiri gadis itu. Benar saja, dia adalah Aida si “pacar orang” itu. Dan entah kenapa aku senang bisa melihatnya kembali.

“Hei... Sedang apa kamu hujan-hujan disini?”Sapaku setengah berseru karena suara deras hujan begitu berisik. Aida tersenyum melihatku, tangannya seperti kedinginan. Aku segera mengulurkan jaketku.

“Kamu menunggu pacarmu? Pakai dulu ini nanti masuk angin” Ujarku. Dia menerima jaket milikku itu tanpa basa basi.

“Makasih ya mas, aku pinjem bentar ya” Dia segera memakainya. Kantong plastik yang sedari tadi dia pegang dia taruh di lantai.

“Nganter makanan lagi buat Ario?”

“Iya, sudah aku ketuk berapa kali tapi tidak ada jawaban. Kata Mamanya yang habis nelpon, dia ada dirumah lagi sakit, makanya aku disuruh antar makanan lagi” Terangnya.

“Kenapa tidak menunggu di Lobby saja kalau tahu hujan begini”

“Tadi nunggu di Lobby lumayan lama, jadi mutusin pulang deh eh pas banget hujan turun”

“Kamu sudah telepon dia?” Dia menggeleng sambil menoleh kearahku.

“Tidak diangkat-angkat mas beberapa hari ini” Masih dengan senyum tersungging di bibirnya.

“Kok bisa sih? Kata kamu dia lagi sakit? Harusnya ada di rumah kan?”

“Sejak pindah kesini, bang Ario agak sulit dihubungin” Aida mengangkat bahu.

“Mau nitip lagi makanannya?” Aku menawarkan diri. “Nanti aku sampaikan ke Ario, mending kamu pulang saja soalnya udah malam sekarang”

“Iya ya, Ndak pantes ya mas cewek nyamperin cowoknya semalam ini? Hehe...” Duh... Lagi –lagi cewek itu masih bisa tertawa kecil.

“Iya aku pulang dah mas, ini jaketnya terima kasih loh ya” Ujarnya sambil mau melepas jaketku. 

Aku tahan dia “Sudah pakai saja, kamu bisa kembalikan sesempet kamu, hujan masih lumayan soalnya daripada sakit nanti, toh besok kamu juga pasti kesini lagi kan?”

“Jadi malu karena sudah diketarain”

“Harus banget ya kamu tiap hari nganterin makanan buat dia?”

“Tidak tiap hari juga sih mas, Cuma mama bang Ario tahu kalau bang Ario suka tidak teratur makannya, punya maag akut juga dia jadi semenjak tahu aku sudah pindah ke Jakarta dan deket ke tempat bang Ario ya akhirnya dimintain tolong terus buat bantu perhatiin” Jelasnya.

“Oooh....” Aku hanya bisa menggumam panjang. Aku masih tidak mengerti bagaimana seseorang mau berkorban sedemikian rupa untuk kekasihnya. Ah... jadi pengin punya pacar juga kalau seperhatian dia mah, aku tersenyum sendiri.

“Jadi, mau dititip saja atau gimana nih makanannya?” tanyaku  lagi. Aida terdiam sesaat, lalu dia mengulurkan plastik makanannya ke arahku.

“Buat mas saja deh, belum makan malam kan?”

“Eh... Yang bener?” Aida mengangguk dan tersenyum meyakinkanku.

“Iya daripada nanti basi tidak ada yang makan”

“Wah... Rejeki anak sholeh nih” Ucapku senang. “Ini kamu masak sendiri?” Tanyaku lagi begitu tahu wadahnya adalah tupperware.

“Iya mas, nyoba masak teriyaki tadi, jangan dibuang ya kalau tidak enak”

“Tentu tidak, pasti aku akan habiskan” Kataku tersenyum lebar. Tatapan kami sempat beradu, dan damn!... Tiba-tiba aku seperti melemas sejenak. Duhai hati... Bisakah kau biasa saja? Aku mengumpat diriku sendiri.

“Mau aku antar pulang?” Aku berusaha menghilangkan grogiku.

“Tidak usah mas, sepertinya sudah mau reda juga hujannya” Kata Aida sambil melihat ke atas. Tidak lama kemudian, Aida pun pamit pulang. Dan hujan yang menyisakan dingin dan becek ini pun terasa begitu indah buatku.

***

Sore itu, aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya, aku sudah punya rencana akan pergi ke gym bersama temanku, tapi tas sepatuku lupa aku bawa tadi jadi terpaksa aku harus pulang dulu. Di dalam lift, aku bersama dengan seorang pria yang menggandeng wanita bertubuh sintal, pakaiannya yang mini dan ketat menggambarkan itu semua. Ternyata kami turun di lantai yang sama, saat aku sampai di depan pintu unit kamarku, aku baru sadar dia adalah Ario, karena dia sedang membuka pintu depan kamarku itu.

“Ario?” Panggilku. Pria tersebut menoleh.

“Ya... ?”

         “Hai bro, akhirnya ketemu juga kita, padahal tetangga dekat gini ya?” Basa basiku. “Ohya waktu itu ada titipan makanan aku gantung di pintu, sudah diambil ya?” Aku pura-pura mengkonfirmasi.

          “Oh ya bro, sudah aku ambil, thank you ya” Dia tersenyum lebar ke arahku.

          “Titipan dari siapa?” Tanya wanita di sampingnya.

        “Oh biasa, dari mbaknya mamaku di rumah, dia suka khawatir kalau aku tidak makan teratur jadi masih saja suka dikirim-kirimin kesini” Jawab pria tersebut sambil melambaikan tangan pamit kepadaku dan masuk ke dalam kamarnya. Aku mendengarnya refleks menoleh ke arah mereka, “Hahh... Mbak-mbak dirumahnya? Gila!” Aku menggeleng konyol. Dan menatap ke arah pintu kamar Ario lama, apa yang mereka lakukan? Siapa wanita itu? Apakah Aida tahu? Berkecamuk tanya di benakku.

***

     Cukup 15 menit untukku mengganti bajuku untuk nge-gym, temanku sudah menelponku berulang. Agak tergesa aku menuju lift, dan saat lift terbuka, aku terkejut, ada Aida yang keluar dari lift dengan membawa tentengan besar seperti biasa.

          “Hai mas... Mau pergi?” Sapanya. Aku terdiam sesaat, di kepalaku teringat Ario sedang bersama wanita seksinya barusan.

          “Ah iya tadinya mau nge-gym sama temen, tapi sepertinya ada yang ketinggalan” Bodoh... Kenapa aku jadi ikut gugup. Aku berbalik arah dan berjalan ke arah pintu kamarku, berbarengan dengan Aida yang juga menuju ke arah kamar Ario. Aku terpaku di depan pintu kamarku, menunggu apa yang akan dilakukan Aida. Dan ternyata Aida  benar Aida mengetuk pintu kamar Ario, tidak ada jawaban, dia mengetuknya kembali. Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku memanggilnya.

         “Aida... Emm... Bisa mampir ke tempat sebentar tidak? Aku mau minta tolong”         
“Minta tolong apa mas?” Aida mendekat ke arahku. Aku menarik tangan Aida masuk ke dalam kamarku. Aida terkejut.

          “Mas Ghun, ada apa ini?” Tanyanya dengan raut kaget.

         “Maaf Aida, aku tidak ingin memberitahumu tapi sepertinya Ario sedang ada tamu. Kamu tunggu di tempatku saja dulu ya” Jelasku.

          “Tamu siapa?”

          “Nanti kamu juga lihat sendiri” Aida tampak bingung dan mengeryitkan dahinya seperti berpikir.

          “Oh iya, aku mau balikin tupperware kamu yang waktu itu, kamu duduk saja dulu sambil aku buatkan teh” Aku mencari alasan.

          “Tidak ah mas, terima kasih. Aku mau tunggu di luar saja. Nanti bang Ario lihat bisa salah paham malah” Aida berbalik ke arah pintu hendak keluar, spontan aku menghalanginya dengan berdiri di depan pintu.

          “Aida! Sebentar saja, aku mau bicara” Pintaku. Dan saat bersamaan terdengar suara pintu kamar Ario seperti dibuka.

“Minggir mas, itu suara bang Ario” Aida segera mendorong badanku, tangannya sudah memegang gagang pintu tapi matanya terpaku saat melihat lewat lubang pintu. Tangannya tampak meremas plastik tentengan yang dia pegang dan aku tahu apa yang sudah Aida saksikan. Tampak dia menghela nafas panjang tapi bernada kesal.

“Aida... Mau aku buatkan teh?” Tanyaku pelan mencoba menenangkan, tapi Aida justru menarik gagang pintu keluar, tepat saat Ario sedang menunggu lift dengan menggandeng mesra pinggang wanita di sampingnya.

          “Bang Ario!” Seru Aida memanggil. Ario terkejut melihat Aida keluar dari pintu kamarku. Aida memburunya, dia melangkah cepat sambil membuka rantang makanan di tangannya, aku bergegas menyusul Aida, sejenak aku terbelalak saat Aida melemparkan isi makanan itu ke arah Ario, wajah dan bajunya belepot kotor oleh kuah makanan, Ario berteriak kesakitan karena matanya perih, wanita di sampingnya tidak kalah terkejut. Tepat saat itu pintu lift terbuka dan Aida menarik tanganku dan masuk ke dalam lift. Apa ini sedang adegan sinetron? Pikirku.

          “Aida... Are you ok?” Tanyaku pelan begitu pintu lift tertutup.

          “Ario brengsek!” teriak Aida sambil tanpa sadar meremas-remas tanganku yang masih dia pegang. Dia menghentak-hentakan kakinya kesal.

          Aku tersenyum dalam hati melihat tingkah lucunya.

“Aida... Itu tanganku bukan plastik makanan kamu?” Ledekku. Aida kaget lalu buru-buru melepas tanganku sambil tertawa.

“Ah ya haha... Maaf mas maaf, duh... ndak sadar aku”

“Butuh sasak tinju? Lenganku cukup kuat kok” Kataku sambil menunjukan Tanganku ala binaragawan. Aida tertawa lagi dan meninju lenganku pelan.

***

Hari itu adalah terakhir aku bertemu Aida. Beberapa hari kemudian, aku tidak pernah melihatnya lagi ke apartmentku menemui Ario. Entah mengapa kadang aku merindukan suara ketukan pintu yang biasa Aida lakukan. Aku menyesal tidak pernah menanyakan nomor handphone-nya sebelumnya. Ya... Gadis lugu itu telah mencuri hatiku ternyata, aku tersenyum konyol sendiri.

“Mas... Cappucino nya satu ya” Sebuah suara mengagetkanku, dan aku mengenali suara itu. Ya,,, Sosok yang baru aku pikirkan sedang berdiri di depanku.

“Mas Ghun kerja disini toh, lama tidak jumpa ya mas” Sapanya sambil tersenyum.

“Aida?” Aku tidak dapat menyembunyikan raut senangku. “Apa kabar?”

***
“ “Aida... Kau tahu? Dari dulu aku benci ketukanmu di pintuku, tapi untukmu sepertinya aku akan rela mengetuk pintu hatimu berulang-ulang”

“Saat hidup menutup pintu untukmu, buka lagi saja. Itu hanya pintu, memang begitulah cara kerjanya”

Jakarta, 15-12-2019
@bee.artie
         

Jumat, 20 April 2018

Lelaki Yang Sedang Dalam Pangkuan


Malam itu, di sebuah sudut hotel, tampak seorang wanita berdiri ragu di depan pintu sebuah kamar, tangannya menggenggam erat tepi bajunya seakan mengumpulkan keberanian. Wajahnya sedikit pucat entah karena udara terlalu dingin akibat hujan yang turun sejak sore atau karena rasa cemas yang tergambar jelas di wajahnya. Klara nama wanita itu, pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya yang menahan tangannya untuk mengetuk pintu kamar didepannya, dia menghela nafas berat antara meneruskan niat untuk masuk atau tidak, tapi sekejap bayangan anaknya yang terbaring lemah di rumah sakit membuat tangannya tiba-tiba mengetuk pintu itu. Ya… aku harus bergegas cepat supaya bisa segera menemui anakku,” batin Klara. Pintu pun terbuka, Klara tidak berani mengangkat wajahnya, dia sudah berniat melakukannya dengan cepat tanpa melihat seperti apa orangnya, sepasang kaki berdiri di depannya.

“Masuk,” Ujar Lelaki yang membukakan pintu untuk Klara. Klara masuk dengan tetap menundukan kepalanya. Sekilas Klara melihat suasana kamar, hanya ada sebuah tempat tidur besar dan meja kecil yang diatasnya ada beberapa botol minuman keras bekas diminum.

“Duduklah,” Suara parau lelaki itu menyuruh Klara dan kemudian masuk ke kamar mandi, tidak lama terdengar bunyi air closet di flush. Klara tidak bisa menyembunyikan deg-degan di hatinya, sebentar lagi akan dimulai, pikirnya. Lelaki itu keluar dan duduk membelakangi Klara yang duduk di ranjang sisi sebelahnya. Terdengar lelaki itu menegak minuman, Klara menunggu dengan gelisah. Menit ke menit berlalu, lelaki itu tidak kunjung mendekati Klara, dia hanya terdiam lama tiada suara, melamun sendiri dan berkali – kali menenggak minumannya, entah apa yang dipikirkan lelaki itu tapi sudah hampir 2 jam Klara didiamkan, dia mulai gemas bercampur cemas, dia takut kalau lelaki itu tidak jadi memakai jasanya karena dia benar-benar sedang butuh uang segera.

   “Maaf, bisakah kita mulai? Nanti waktu saya keburu habis,” Klara memberanikan diri menanyakan. 
“Kenapa? Apa ada pelangganmu yang lain juga menantimu?” Suara lelaki itu terdengar semakin serak terlalu banyak minum. Klara menghela nafas mendengarnya.
   “Ini pertama kali buat saya, baru anda yang memanggil saya,” Ujar Klara.
   “Ohya? Woww… Tersanjung dong aku,” Kali ini terdengar sinis. Klara berdiri, mematikan lampu utama dan membuka baju atasannya. Suasana kamar semakin remang – remang, hanya ada Cahaya kecil dari lampu tidur yang redup.
   “Tolonglah, mari lakukan dengan cepat, saya benar – benar tidak punya waktu banyak,” Suara Klara terdengar memohon. Lelaki itu masih duduk membelakanginya, dan kembali meminum minumannya.
   “Jujur, ini juga pertama kali buatku, temanku yang memesanmu buatku tapi kenapa kamu tidak segenit perempuan-perempuan panggilan yang sering digambarkan di film atau buku-buku?” Lelaki itu berdiri tapi bukan menuju ke Klara tapi malah membuka tirai jendela kamar hotel, menatap langit yang gelap di luar sana, entah apa yang dipikirkannya.
   “Maaf kalau kurang menyenangkan hati anda, saya harus bagaimana? Ini baru buat saya,”Tanya Klara. Lelaki itu menutup kembali tirai jendela dan melangkah mendekati Klara. Klara menunduk tidak berani menatap wajah lelaki asing di depannya itu, hatinya berbisik,”Yang terjadi terjadilah… Semoga Tuhan mengampuni dosaku ini”. Lelaki itu berdiri tepat di depan Klara, dia menaikan baju bagian atas Klara yang tadi terbuka dan memegang kedua bahu Klara lalu mendudukannya. Lelaki itu duduk di lantai kamar dan meletakan kepalanya di pangkuan Klara.
   “Aku sedang tidak benar-benar ingin melakukannya,” Klara tercekat dengan yang dilakukan lelaki itu. Suara lelaki itu terdengar mengandung kesedihan, sekilas bau alkohol dari lelaki itu mulai menyengat hidung Klara.
   “Jadi, anda tidak ingin memakai saya?” Tanya Klara, dia tidak bisa menutupi degup jantungnya yang tidak beraturan karena baru kali ini sedekat ini dengan lelaki selain suaminya.
   “Iya tidak, aku hanya ingin seperti ini sejenak,” Lelaki itu memejamkan matanya di pangkuan Klara.
   “Tidak, anda harus memakai saya, saya benar-benar butuh uang untuk anak saya” Suara Klara bernada khawatir. Lelaki itu tertawa kecil.
   “Tenanglah... Aku tetap bayar full kamu,” Mendengar kalimat itu, dada Klara terasa plong. Lama mereka berdua hanya terdiam tenggelam dalam pikirannya masing – masing. Klara merasa di selamatkan Tuhan. Dia menatap wajah lelaki yang di pangkuannya, tapi Cahaya yang redup menyamarkan wajah lelaki itu, ada rasa ingin melihat wajah orang baik di depannya itu.
   “Anak kamu kenapa?” Tanya lelaki itu memecah keheningan
   “Dia kecelakaan beberapa hari lalu dan harus segera di operasi, tabungan saya kurang itulah kenapa saya terpaksa melakukan ini,” Mata Klara tiba-tiba berkaca-kaca begitu mengingat anaknya.
   “Suami kamu?”
   “Tidak ada,” Jawab Klara singkat.
   “Dimana? Sudah meninggal?”
   “Entah, saya pun masih mencarinya, dia pergi,”
   “Bagaimana bisa dia pergi meninggalkan anak istrinya begitu saja? Pengecut berarti dia,” Kata Lelaki itu ingin tahu.
   “Ahh… Maaf, saya tidak ingin berbagi cerita dengan orang yang tidak saya kenal,” Ujar Klara.
   “Oh… Oke… Oke… Maaf kalau aku jadi terlalu banyak bertanya,” Kami terdiam kembali sesaat. Tidak lama, Klara membuka suara.
   “Saya dengar dari teman saya, anda mencari seorang perempuan yang telah menjadi ibu untuk menemani anda malam ini, boleh tahu alasannya?”
   “Ini alasannya,” Lelaki itu membenarkan posisi kepalanya di pangkuan Klara. “Bisa meletakan kepala di pangkuan seorang ibu saat banyak masalah itu menenangkan,”
   “Ohh… ,” Klara mengangguk – angguk mengerti.
   “Waktu kecil, pangkuan ibuku yang paling nyaman, setelah menikah, ada pangkuan wanita yang sehangat ibuku yaitu istriku,”
   “Ohh… Punya istri? Lalu kenapa melakukan ini? Bukankah ini akan menyakiti hati istri anda?” Giliran Klara yang ingin tahu. Lelaki itu tidak menjawab, dia menghela nafas lalu menarik tangan Klara untuk mengusap kepalanya.
   “Bisakah tanganmu mengusap rambutku seperti ini? Dulu, aku paling suka di usap-usap seperti ini oleh istriku,” Pinta lelaki itu. Klara terdiam sejenak, dia tiba-tiba teringat akan suaminya yang juga selalu meminta dia mengusap-usap kepala saat mau tidur. Tanpa disadari tangan Klara mengusap-usap pelan kepala lelaki itu.
   “Hhh… Sungguh menenangkan,” Kata lelaki itu.
   “Dia pergi? Atau…,” Tanya Klara meneruskan pertanyaannya yang belum lelaki itu jawab.
 “Tidak, aku yang pergi meninggalkannya,” Suaranya terdengar lirih. Klara terdiam mendengarnya, tapi belum sempat Klara bertanya kembali, suara lelaki itu sudah terdengar lagi.
   “Aku tidak bisa menghidupinya dengan baik, entahlah dulu sekuat apapun aku bekerja tapi ekonomi kami selalu susah, aku malu pada orang tuanya, jadi aku putuskan untuk pergi meninggalkan mereka untuk membuktikan bahwa aku bisa bekerja dan menghasilkan banyak uang untuk mereka”
   “Lalu?” Klara semakin tertarik dengan cerita lelaki itu.
   “Yah… Sebulan lalu aku kembali, dan aku tidak menemukan mereka lagi,” Lelaki itu kembali membetulkan posisi kepalanya. “Padahal aku membawa banyak uang untuk membahagiakan mereka, tapi mereka sudah tidak ada dan orang tuanya pun sama sekali tidak mau memberitahuku keberadaan mereka,” Klara merasa pangkuannya terasa hangat, ya… lelaki ini menangis. Klara mengusap-usap kepala lelaki itu dengan lembut. Kali ini kami terdiam lama hingga lelaki itu tertidur di pangkuan Klara dan Klara pun lama – lama tertidur dalam duduknya.

***

   Klara terbangun kaget saat lelaki itu terbangun dari pangkuannya.
   “Wah… Maafkan aku, aku ketiduran,” Ujarnya sambil melihat kearah jam di dinding dan dia merasa bersalah.
   “Kamu harus menemui anakmu ya? Sorry, aku benar-benar terlalu nyaman di pangkuanmu,” Lelaki itu meminta maaf lagi dan mengambil dompetnya.
   “Tidak apa, saya juga ketiduran tadi,” Kata Klara sambil merapikan rambutnya.
   “Ini buat kamu, terima kasih atas waktunya” Lelaki itu menyodorkan sejumlah uang ke Klara. Klara menatap lelaki didepannya yang masih tidak jelas wajahnya karena penerangan lampu yang masih redup.
   “Saya berterima kasih sekali atas bantuan anda, semoga Tuhan yang membalas kebaikan anda,”
   “Hitung dulu, kalau masih kurang buat biaya operasi anak kamu, katakan padaku,” Lelaki itu berkata sambil berjalan menyalakan lampu. Seketika kamar itu terang benderang, Klara memejamkan matanya sejenak karena merasa silau, dia membuka matanya dan dia melihat lelaki yang memberinya uang tadi sedang berdiri terpana di depannya.
   “Kamu…,” Suara lelaki itu tercekat begitu melihat wajah Klara secara jelas. Klara tidak kalah terkejutnya, matanya terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, tubuhnya tiba – tiba lemas, uang yang digenggamannya jatuh berantakan ke lantai. Klara benar – benar shock melihat sosok lelaki itu, lelaki yang selama ini menjadi alasan dia tidak menuruti perintah orang tuanya  untuk menikah lagi dan memilih kabur dari rumah bersama anaknya, lelaki yang sudah berbulan – bulan dia cari – cari, ya… lelaki itu ternyata adalah suaminya sendiri. Lelaki itu jatuh terduduk dan bersujud berkali – kali berterima kasih kepada Allah atas kejutan yang dia terima, kemudian memeluk Klara dan mereka pun menangis berdua dengan penuh syukur.

"Bukankah kita pernah sama-sama sepakat bahwa point mencintai itu terletak pada rasa nyaman? Untuk itulah hati ini masih disini untukmu, hati yang telah dipenuhi rasa yang membuat kita saling ketergantungan, rasa yang selalu bisa membuatmu heran karena kamu sendiri bahkan tidak bisa menjabarkannya dengan kata apapun. Lalu mengapa kamu pada akhirnya pergi? Tetaplah disini, lelakiku. Jangan pergi lagi"


*SEKIAN*

Sabtu, 16 September 2017

We Deserve to be Happy



Ada pesan masuk:
Bee... Aku mergokin mereka dirumahku sendiri hari ini, apa kamu tetap menyarankanku untuk tetap bertahan??? Maaf... Kali ini aku sudah gak bisa.

Deg!
Ahh... begitu banyak cerita masuk dari teman-teman sendiri belakangan ini, dan saran saya tetap sama: Don't divorce! Don't divorce! Don't divorce!.

Diatas adalah curhatan awal tahun lalu, dan kemarin ada chat masuk: "Aku sudah resmi bu, putusannya sudah keluar"

Menyedihkan buatku saat kemudian kalian hanya akan saling memandang tanpa saling mengenal. Dan tetap saja ada tanya dalam hatiku, ini tentang waktu yang tak lagi memberi kesempatan atau masing-masing sudah tak saling ingin memperjuangkan?

Ahh... Sudahlah, kadang memang kita harus mengikhlaskan sesuatu, bukan karena tak sayang tapi melainkan karena kita tahu ada sesuatu yang memang tidak bisa dipaksakan. Apapun jalan yang kalian tempuh, satu hal dariku, kalian semua berhak bahagia.

*peluk jauh dari sahabatmu ini*

Catatan:
Yang paling aku takutkan adalah mampu menasehati seseorang tapi aku sendiri lalai dalam menjalankan nasehat tersebut. Mianhe (+_+)

Hanya Untuk Saling Kenal, Bukan Saling Tinggal



Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanya memandangimu dari jauh, semua orang terlihat lebih dekat denganmu hingga aku merasa tidak ada ruang untukku masuk.

Aku tahu, tidak semua penyakit ada obatnya, begitu juga dengan rindu. Tidak semua rindu ada penangkalnya, tapi entah kenapa aku masih begitu bodoh tetap disini.
Kau tahu, setiap hari aku melarikan diri dari diriku sendiri, menyumpal telinga dengan puluhan lagu dan ditemani segelas kopi dingin kemudian menyibukan pikiran dan mataku dengan apa saja yang terlihat didepanku, laptop, handphone, tv, dan apapun yang bisa membuat mataku bergerak, aku hindari pandangan mati seperti tembok, langit-langit kamar bahkan kegelapan luar, karena setiap mataku berhenti pada sesuatu yang kosong, aku kembali berhalunisasi seperti merasa melihatmu. Dan aku merasa kehilangan banyak hal dari diriku.

Kau mungkin bisa menghindari ragaku, tapi apa kau disana benar-benar bisa menghindari rindu itu? Aku tahu, biarpun kita sudah bertukar pesan ribuan kali, tapi hal itu tetap tidak bisa mendekatkan kita sejengkal pun. Ya... Mungkin pertemuan kita hanya untuk saling kenal, bukan saling tinggal. Tapi ketahuilah, bagi yang terlanjur mencintai, pergi bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi melupakan. Jangan mudah pergi saat hati sudah terlanjur nyaman.

Ah... Setidaknya jika hatiku kelak berantakan lagi, aku bisa membaca cerita ini dan mengingat, dalam satu hari dihidupku, aku pernah bahagia bersamamu. Mengingat ini saja sudah cukup menenangkan buatku.

*Rindu*